Senin, 26 Desember 2011

Obrolan Sambil Nyetir

Keponakan yang sulit diidentifikasi dinamika psikologinya
Dinamika kehidupan di kota-kota besar hanya keren di film. Kalau menjalaninya tanpa sorot kamera yang ada tampak menyebalkan. Apalagi bagi mereka yang paham sekali pentingnya berkumpul bersama keluarga. Dulu masih sempat mengobrol di rumah, kalau sekarang mengobrol dilakukan sambil mengendarai mobil. Berbahaya memang, tetapi tidak banyak waktu dan waktu selama perjalanan rute Utan Kayu - Jl. Pramuka - Jl. KH Mangunsarkoro - Mesjid Sunda Kelapa - Jl. HR Rasuna Said digunakan untuk berbagi cerita mengenai apapun.

Pagi ini saat melintas di Jl. KH Mangunsarkoro, ibu mengagetkan saya dengan ucapan beliau :

"Rayya jangan-jangan autis lagi ya?" 

Ucapan beliau membuat saya sebagai mahasiswa psikologi ingin menginjak rem dalam-dalam karena terkejut, tapi urung karena membahayakan nyawa. Berkuliah psikologi itu lebih sulit daripada dilatih secara militer (menurut saya >.<). Menahan diri untuk tidak sembarangan memberi label pada orang dari segala jenis rentang usia apabila awam melakukan diagnosa independen pada seseorang yang berujung labelling.

"Buset.. Gak lah! Serem amat..!" 

Lagipula anak autis itu maladaptif sosial, lha wong ini anak bisa menyapa semua orang dan berinteraksi sosial. Walaupun ada dorongan agresi yang cukup kuat dalam dirinya sehingga terlihatnya hiperaktif dan rusuh. Attention Deficit Hyperactive Disorder-kah? Heh... gak tau! Sefaham saya, keponakan ini normal saja walaupun kelakuannya diatas rata-rata standar keluarga. Jadi ada semacam pergeseran tren perilaku. Kalau generasi saya cenderung malu-malu, hampir semuanya.. Kalau generasi keponakan saya..sepertinya perlu di cek lagi urat malu-nya *hula-hula*.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar